Selasa, 02 Oktober 2012

Sekilas tentang takdir

Kita mungkin sering mendengar pertanyaan ini, “kalau dikatakan bahwa proses alam ini telah direncanakan Tuhan, bagaimana halnya dengan manusia? Apakah nasib manusia juga telah direncanakan Tuhan?”. Pertanyaan ini menyangkut masalah takdir Manusia jelas berbeda sekali dengan batu, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Manusia mempunyai apa yang dinamakan “kehendak bebas” (free will), yang tak berhubungan dengan sebab apapun. 

Manusia bebas memilih, karena manusia mempunyai kehendak pribadi. Batu, tumbuhan dan hewan tidak dapat memilih jalnnya sendiri. Katakan misalnya, kita sedang melihat buah apel di atas meja. Ada tak terhingga cara atau sikap yang dpat kita lakukan terhadap apel tersebut. Misalnya : - Melihat apel itu dengan jarak 1 meter, 3 meter, 2,90 meter, 7,07 meter dan seterusnya - Meliriknya dari kiri dengan sudut 40 derajat, dari kanan dengan sudut 30 derajat, dari atas dengan kemiringan 60 derajat, dan seterusnya - Mendekati dari arah kiri, kanan, depan, agak miring ke kiri, dan seterusnya - Meninggalkannya dengan banyak cara juga - Memutarinya dengan banyak cara juga - Dan, masih banyak lagi Semua pilihan ini kita pilh tanpa ada yang memerintah kita. 

Pertanyaannya sekarang, kapan salah satu pilihan itu dilakukan? Artinya a) dilakukan bila apa?, b) dilakukan bila apa? Demikian seterusnya. Untuk kita, manusia, pilihan a) bila apa saja, sesuai kehendak hati kita. Pilihan b) juga begitu dan seterusnya. Jadi, manusia mempunyai apa yang dinamakan “kehendak bebas” yang tidak berhubungan dengan sebab apapun. 

Manusia bebas memilih. Manusia punya kehendak pribadi. Tetapi, hal ini kemudian menimbulkan keraguan argumentatif. Sebab, ketika seseorang mengubah pilihannya-yang didasarkan atas kehendak bebas yang ada pada dirinya-maka bukankah itu berarti bahwa apa yang telah diketahui sebelumnya oleh Tuhan menjadi tidak cocok lagi dnegan kejadian yang sebenarnya. Itulah yang banyak diperdebatkan para filsuf sejak dahulu. Mereka mengatakan bahwa Tuhan adalah Zat Yang Maha Mengetahui segala yang akan terjadi. Di samping itu, ilmu Tuhan Yang Maha Sempurna tidaklah mungkin mengalami peruabahan. Mustahil pula pengetahuan-Nya bertentangan dengan apa yang terjadi, sebab itu sama artinya dengan : Tuhan tidak tahu. 

Maka disimpulkanlah bahwa semua peristiwa dia ala mini harus terjadi dengan cara yang bersesuaian dengan ilmu Tuhan, secara deterministis. Artinya, bila ilmu Tuhan mengetahui bahwa si A pada 1 Januari 2012, pukul 10:24:50 akan memetik daun tertentu dari pohon tertentu yang terletak di tempat tertentu, maka mau tidak mau itulah yang akan terjadi. Pelakunya tidak mempunyai pilihan kecuali secara terpaksa melakukan perbuatan itu, pada waktu itu. Tak ada kemungkinan bagi si A untuk mengubahnya menjadi yang lain, bahkan tak ada satu pun kekuatan yang mampu mengubahnya. Sebab, bila tidak demikian, kata pengetahuan Tuhan akan beralih menjadi ketidaktahuan. 

Lagi-lagi, pikiran kita seperti ini timbulbkarena orang telah membuat suatu korelasi waktu antara alam semesta ini dengan Tuhan.(Padahal sudah terbukti bahwa Tuhan sama sekali berada di luar fenomena waktu). Bila Tuhan mengetahui pengetahuan X yang isinya: “si A pada 1 Januari 2012, pukul 10:24:50 akan memetik daun tertentu dari pohon tertentu yang terletak di suatu tempat tertentu,” maka memang itulah yang bakal terjadi. Bila si A tiba-tiba mengubahnya, misalnya, bukan pada pukul 10:24:50 ia melakukan itu, melainkan pada pukul 10:24:55, maka sebenarmya bukan pengetahuan X tadi yang ada pada Tuhan, melainkan pengetahuan Y yang berbunyi: “ si A pada 1 Januari 2012 pukul 10:24:55, akan memetik daun itu pada pohon itu, yang terletak di tempat itu”. Kenapa kita harus menarik garis waktu dari Tuhan ke alam kita? Kenapa tidak kita anggap bahwa pilihan paling akhir dari si A tadilah yang ada pada pengetahuan Tuhan? Ya, sekali lagi, hal ini disebabkan Tuhan itu nonwaktu, dan waktu adalah ciptaanNya. Mustahil makhluk ciptaan dapat mengalahkan Penciptanya. 

Sekarang bagaimana dengan ketetapan dan ketentuan Tuhan? Bila Tuhan telah menentukan sebelumnya bahwa si A pada 1 Januari 2012, pukul 10:24:50 akan memetik daun tertentu dari pohon tertentu dan tempat tertentu, maka bukanlah itu berarti bahwa, mau tidak mau, itulah yang akan terjadi? Sebab, bila ada kemungkinan bagi si A untuk mengubah ketentuan itu menjadi yang lain, bukankah itu berarti ketentuan Tuhan beralih menjadi ketidakberdayaan? Marilah pertanyaan ini kita jawab dengan pertanyaan pula, “Bagaimana bila ketentuan itu dibuat Tuhan sesudah peristiwa itu terjadi?, Jadi umpamanya, pada 2 Januari 2012?” Jawaban yang lucu memang, tetapi sungguh ia sama lucunya dengan kalimat pertama tadi, yang mengatakan bahwa Tuhan telah menentukan (yakni Tuhan telah menentukan sebelum peristiwa itu terjadi.) 

Kenapa kita lagi-lagi menyifati Tuhan dengan waktu? Apa makna “sebelum” dan :sesudah” bagi Tuhan? Mungkin akan ada orang bertanya, “Jadi, kalau kemarin saya melakukan suatu perbuatan-denga perkataan lain, perbuatan saya itu telah benar-benar menjadi kenyataan- apakah hal itu telah ditetapkan oleh Tuhan?” Jawaban bagi pertanyaan ini cukup singkat: “ saya tidak tahu! Mungkin ya mungkin tidak!” Kalaupun “Ya”, maka itu harus dipahami dari konteks “ke-nonwaktu-an” Tuhan. Kita tahu bahwa Tuhan adalah non waktu. Semua perbuatan Tuhan yang kita pahami (daerah B dari “daerah ABC”) harus kita pandang sebagai konversi lewat pemetaan dari domain nonwaktu ke domain waktu. Atau kita akan terjebak dalam kubangan waktu yang membingungkan. 

 Untuk lebih tegasnya, katakanlah, umpamanya, kemarin si A telah melakukan suatu perbuatan dosa (perbuatan dosa yang telah menjadi kenyataan). Apakah perbuatan si A itu telah ditetapkan oleh Tuhan? Jawaban dari pertanyaan ini juga berbunyi: “saya tidak tahu!” Kecuali-sekalilagi-kecuali, bila Tuhan menyatakan hal tersebut lewat wahyu-Nya. Sekiranya Tuhan menyatakan (lewat wahyuNya) bahwa” apabila perbuatan seseorang tergolong baik, maka Dialah yang menetapkannya. Dan apabila perbuatan itu tergolong perbuatan yang tidak baik, maka Dia berlepas diri dari hal itu,” maka hanya atas dasar inilah kita bias memilah secara garis besar, mana perbuatan kita yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan mana yang tidak. Lalu, dalam hubungan ini, apabila kita melakukan perbuatan yang baik, maka apakah kita pada waktu itu sedang menjadi robot yang digerakkan oleh Tuhan? Dengan perkataan lain, kita pada waktu itu menjadi tidak bebas lagi? Jawabannya: “Bisa ya, bisa tidak” Mungkin, Tuhan hanya membimbing kita, mengarahkan, membantu, memudahkan, melindungi, memfasilitasi, dsb..sehingga perbuatan baik itu sendiri harus dirumuskan oleh Tuhan lewat firman-firmanNya. 

 Maka, ada 3 kesimpulan yang dapat kita tarik, yakni : - Apabila suatu pembahasan mulai menyentuh tentang takdir, berhentilah pada titik itu (jangan diteruskan) - Kita manusia, wajib berusaha seoptimal mungki, tetapi tidak wajib berhasil - Kemana dunia ini hendak dibawa, terserah kepada penghuni bumi ini, “seakan-akan Tuhan membiarkan hal itu sepenuhnya.” Ada tak terhitung jalur budaya yang dpat dipilih oleh komunitas manusia, dan sebanyak itu pula rel kereta sejarah yang akan mereka lalui. Kata Algazal, “ Tuhan mengendalikan manusia secara terbatas, dan manusia dapat mengendalikan alam juga secara terbatas.” Namun, batas-batas itu tetap saja memberikan peluang yang begitu luas bagi manusia untuk memilih jalannya sendiri, yang tak terhitung banyaknya. 

Sumber: Shahab, Idrus. 2007. Beragama dengan Akal Jernih. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Hal.153-159

0 komentar:

Posting Komentar